Jun 11, 2008

Perpisahan

Re, perpisahan itu semakin lama semakin menyakitkan.

Setiap kali kau berikan kecupan selamat tinggal, ada bagian hatiku sekarat menahan pedih. Sudah berapa kecupan kita bagi dalam rentang kebersamaan kita? Ratusan temu dan juga ratusan perpisahan. Berulang dan berulang. Memenggal hidup kita menjadi sepotong waktu kecil yang kita santap berdua, sebelum kita kembali pada menu hidup masing-masing.  Waktu kulalui bersamamu adalah kesekejapan belaka. Hanya setetes dari seteguk cinta yang kuharapkan. Haus aku akan dirimu. Lapar aku akan cintamu. Sungguh Re, tak ingin aku kembali lepaskanmu jelajahi jarak 127 km yang pisahkan kita. Jauh dariku.

”Bukankah ini resiko kita? Bercinta terpisahkan jarak?”

Aku tahu Re. Sungguh aku tahu resiko yang kutanggung. Sedari perjumpaan pertama kita di satu kota, dilanjutkan dengan perjumpaan kedua di kota yang lain. Kita jalani hidup yang berbeda, di kota yang berbeda, Re. Dengan mobilitas begitu tinggi. Hingga kita saling berkejaran dengan jarak dan waktu. Mencuri waktu di tengah kesibukan. Berlomba penuhi target agar dapat menyelipkan namamu, atau namaku, dalam agenda bulanan kita. Menjalin cerita berbataskan maya dan sambungan telepon. Tapi kini itu tak lagi cukup, Re. Kegelisahan ini tak pernah berhenti. Rindu tak jua putus. Dan tentu saja, sepi masih saja meraja. Kala hidup kita tak saling bersinggungan. Tak bisakah kita berdiam dan menetap?

”Aku masih membangun mimpiku, mimpi kita. Tak bisakah kau sabar menungguku?”

Mimpi adalah dirimu, Re. Aku mengenalmu ketika kau bermain dalam awan mimpi. Tak hendak turun menjejak nyata. Kau dengan mimpimu adalah satu. Dalam setiap perjumpaan kita, kau selalu bercerita tentang mimpi-mimpimu. Seperti halnya kubagi mimpi milikku. Hingga melebur semua menjadi mimpi kita. Terajut perlahan bersama kasih yang kita nikmati berdua. Terangkum bersama karya-karya Hollywood yang rajin kita sambangi. Di antara cita rasa berbagai masakan eksotik manjakan lidah kita. Juga di atas bantal tempat kita sandarkan lelah setelah seharian menyusuri kota. Kamarku penuh oleh mimpi yang kita bincangkan, Re. Tapi ada pula harga yang harus kita bayar. Mimpi itu letakkan jarak di antara kita.

”Apakah mimpiku terlalu sederhana, Re?” 
”Tak ada mimpi yang sederhana, Fee.”
”Apakah kau tahu mimpiku?”
”Bukankah sama dengan mimpiku?”

Mimpiku adalah pelengkap mimpimu, Re. Bukan sama dengan mimpimu. Kau melengkapi diriku, seperti halnya aku berharap diriku melengkapi dirimu. Kita berjalan sebagai dua lingkaran yang beririsan, namun bukan satu. Karena satu berarti penghilangan identitas yang lain. Dan aku tak dapat membiarkan diriku lebur dalam dirimu, seperti halnya aku tak akan merenggutmu dari hidupmu untuk bersatu dengan hidupku. Kita berbeda, tapi kita saling melengkapi. Begitu juga dengan mimpi-mimpi kita. 

”Berikan aku waktu.”

Waktu kini tak memihak kita, Re. Terlalu banyak detik terlalui tanpa pelukanmu. Masa berlari cepat, dan tanpa kita sadari bulan sudah berulang kembali. Bincang sunyi dengan tembok kamarku tak lagi tenangkan gejolak batinku.  Hujan yang kucinta pun terasa hambar tanpa percintaan kau dan aku di sela rintiknya. Malam sungguh dingin karena tak ada pelukmu. Aku merindukan seseorang tempat aku pulang, Re. Berbagi aksara dan juga cita. Tapi kau tak ada di sini. Gelenyar pedih ini terus bertambah, Re. Getir yang terasa pahit mendera inderaku. Bersama butiran air mata yang terus terurai. Jatuh berdebam seiring perpisahan demi perpisahan kita. Sakit ini masihlah akut, Re. Karena tak ada kau yang menjadi penawarnya. Apakah kau rasakan sakit ini juga, Re?

”Kamu terlalu egois, Fee.”

Ya.
Aku egois akan segala hal berkaitan denganmu.
Tapi b
ukankah keegoisan kita sama, Re?
Egois untuk bersama kala tubuh kita terpisah.
Dan perpisahan ini semakin lama semakin sakit.
Pulanglah, Re.
Padaku.

1 comments:

darma mr said...

Nce story..Darma ngalamin juga ...what a hard life but....

Post a Comment