Oct 8, 2007

Menunggu Hujan

Engkaukah yang datang bersama hujan ini?

Gerimis selalu sertai hadirmu. Seperti waktu-waktu lalu. Ingatkah kau pada masa hujan kerap basahi bumi? Kita larut menjalin asa. Percakapan di sela gemuruh petir. Bisikan di antara desau angin. Bercumbu kala jarum-jarum air menghujam. Temaram begitu memabukkan. Seperti keberadaanmu, lelaki hujanku.

 ” Sepertinya hujan mencintaimu.”  
” Sungguh? Seperti apakah cinta hujan itu?”
” Seperti cintaku.”
” Kalau begitu cintamu begitu dingin.”
” Maka hangatkanlah dengan cintamu.”

 Engkaukah yang datang bersama hujan ini?

Terasa rindu tak asing. Begitu akrab seperti harum tanah tertimpa percik hujan pertama. Tempias yang basahi relung hati. Ingatan berkeletik memburu fragmen kenangmu. Biarkan pecahan dirimu merasuk dalam batinku. Singgahi semua ruang bertera namamu.  Kuyup aku di tengah hujan ini.  Hujankah yang mengejarmu ataukah kau yang mencari hujan?

 ” Kau rindu hujan?”
” Ya. Seperti aku merindumu.”
” Cintailah hujan itu.”
” Seperti aku mencintaimu?”
” Ya. Seliar kau bersamaku.”

Engkaukah yang datang bersama hujan ini?

Kemari. Lama sudah tak kau cecap sisa hujan di bibirku. Pun tak pernah lagi kususuri jejak air di tubuhmu. Hujan kini begitu sepi. Ingin kuresapi basah hujanmu. Gigil mendekap sukma. Namun kering ini demikian membara. Rasakan butuhku. Gelisah tak tertahankan akan hujan. Terik berkepanjangan hingga meranggaskan asa. Kemaraumu menyiksaku, duhai lelaki hujanku.

”Apakah kau begitu menanti hujan?”
” Ya. Tentu saja.”
” Mengapa?”
“ Karena hujan bawakan dirimu.”
“ Akankah terus kau cari?”
“ Ya. “
“Ke mana?”
” Ke mana pun hujan meneteskan keberadaanmu.”

Engkaukah yang datang bersama hujan ini?

Aku masih menanti hujan.  Tapi tak ada kau di ujung rintiknya. Aku tak dapat meraihmu di balik tirainya. Berbisik cinta berbuih gairah. Pelukmu pun memudar seiring tetesan terakhir hujan. Tak lagi kutemui senyummu terpantul di genangan air. Tak kudapatkan sosokmu menari di bawah rinai hujan. Dirimu menghilang tinggalkan pilu. Duhai lelaki hujanku, cinta kini terburai dalam kemarau. Apakah kini kau berwujud kemarau demikian gersang?

 ” Aku bukan hujan.”
” Aku tahu itu.”
” Aku tak dapat selalu basahi kemaraumu.”
” Kemarau itu kau yang ciptakan.”
” Tapi aku bukanlah deras yang kau damba.”
” Lalu apakah kau?”
” Aku adalah musim yang salah. ”

Engkaukah yang datang bersama hujan ini?
Ataukah harus kunanti,
Hingga nanti langit berkenan hujankan adamu.
Lagi.