Dec 27, 2007

Jejak Tubuh

Aku benci melihat alur jejak orang lain di tubuhmu.

“Bagaimana kau bisa melihatnya?” tanyamu.

Bagaimana bisa aku tak melihatnya? Jejak itu tertera jelas di mataku. Tidak, itu bukan jejak diriku yang haus jelajahi tubuhmu. Melainkan alur tertinggalkan oleh sosok asing. Partikel diriku musnah tertindas renik sesuatu yang lain. Keberadaannya lahap rindu tumbuh terlambat. Jejakku belum lagi mendingin ketika kau sambut kehangatan lain. Sementara beku masih mencengkramku erat.  Tak ada kau yang nyalakan gairah demikian panas.

Aku benci mencium aroma asing di tubuhmu.

“Wangi apa yang kau cium?” tanyamu.

Bukan aroma cinta kita yang kuhidu dari tubuhmu. Melainkan jarak begitu pekat. Terasa kepahitan akan waktu berbeda yang pisahkan kita. Saat ini hanya kucium sayup wangi keberadaan asing. Tak ada lagi gelora nafas berpadu hantarkan perpenuhan. Hanya samar euforia tertinggal. Bersama dekap asa yang terpisah. Masa terlewat begitu cepat, tenggelamkan kau dalam wangi berbeda yang tak kusuka. Dan aku masih saja mencari sisa keharuman tubuhmu dalam mimpiku.

Aku benci mengecap rasa yang lain di tubuhmu.

”Rasa apa yang kau rindu?” tanyamu.

Tidakkah kau rasa kesemuan mengambang di udara setelah usai percintaanmu? Tidakkah kau rindu manis percampuran kau dan aku? Kala tubuh kita masih menari, rasa dirimu adalah ambrosia pemacu hasrat. Berebut kuasai benak dengan berbagai sensasi menghanyutkan. Namun hanya getir yang kusesap keberadaannya kini. Masih dapatkah kau kecap rasa diriku, ketika beragam rasa berlomba serbu inderamu? 

Aku benci merasakan sentuhan tak bermakna.

”Makna apa yang kau cari?” tanyamu.

Keterikatan kita sudah lerai. Namun makna masih mengendap dalam jiwa. Kusimpan baik-baik fragmen kisah kita. Kini ia sudah reda memagut keberadaan. Namun lembut belaimu tetap terkenang. Menjadi peneman sepi kala lelap sendiri. Tak lagi kau tinggalkan lekuk di bantal di sampingku. Pun kecupan sarat oleh cinta. Hanya ada deretan kenikmatan kosong yang kau kejar tak tentu arah. Sungguh, kekosongan ini tak akan bisa terpenuhi.

Aku benci melihat tatapan tak berjiwa.

”Jiwa siapa yang ingin kau lihat?” tanyamu.

Bukankah dulu dapat kulihat pantulan jiwamu? Berkilau lembut dalam binar matamu. Terjerat aku dalam pesonanya. Pandangan itu selalu temani kebersamaan kita. Bersama hentakan rasa demikian tinggi. Merebut akal dan terbitkan candu.  Dalam deras percumbuan, dapatkah kau rasa jiwa kita bercinta kala tatap berpadu? Getar-getar indah merasuk kalbu. Sekarang jiwa siapa yang tercermin di matamu, ketika kau hanyut dalam episode-episode sesaatmu. Aku merindu jiwamu, tahukah kau?

Aku benci terperangkap di antara setengah.

”Lalu apa yang kau mau?” tanyamu.

Tak ada. Karena usai telah miliki kita.

”Tapi aku masih mencintaimu.” katamu.

Ya.
Bukankah kau bilang aku memiliki hatimu, bukan tubuhmu.
Lalu apa arti cinta itu?