Jan 30, 2008

Pulang

Semilir angin menerpa wajahku begitu aku turun dari angkutan desa. Sejuk sekali. Lama tak kurasakan kesegaran seperti ini. Berbeda dibandingkan udara Jakarta yang pengap. Kulangkahkan kaki menuju rumah Eyang Kung yang masih terletak sekitar 1 km lagi dari pemberhentian angkutan. Sudah berapa tahun kutinggalkan tempat ini?

Lama aku tak pulang apalagi berjumpa sanak saudara. Termasuk dengan Eyang Kung, tentu saja. Eyang Kung, nama panggilan kakekku. Enam belas tahun lalu, sebuah bus merenggut nyawa orang tuaku. Eyang-lah yang membesarkan, bahkan membiayai sekolahku hingga sampai ke Jakarta, kota metropolitan. Setelah bekerja, aku tak lagi sempat pulang ke desa, walau Lebaran tiba. Hanya kabar lewat surat, itu pun sangat jarang. Hiruk-pikuk Jakarta telah menyekapku. Aku terhisap lingkaran rutinitas, seolah tak pernah terputus.

Sepanjang perjalananku berjalan kaki, sempat aku perhatikan keadaan desa  yang lama kutinggalkan ini. Suasananya berbeda. Tak ada lagi jalan tanah. Sudah beraspal. Banyak bangunan baru berdiri. Tampaknya desaku ini sudah mulai berubah. Lalu perlahan rumah joglo yang sudah sangat kuhapal tampak di hadapanku. Kuayunkan langkah menapaki jalan setapak berbatu yang membelah halaman tengah. Senja mulai menggantung di cakrawala.

Pintu kayu ruang tamu joglo terbuka lebar. Jobo satru masih tak banyak berubah. Meja dan kursi jati ukir Jepara masih mendominasi. Lukisan Eyang Kung dan Eyang Uti sewaktu muda terpajang di dinding. Jam berdentang lima kali. Nyaring. Seolah tak aus oleh waktu. Tepat di atas pintu tengah. Tak juga lelah menemani Eyang di usia senja.

“Joko…akhirnya cucu Eyang pulang juga.” sapa suara berwibawa yang telah lama kurindukan. Sapaannya pelan dan berat, seorang yang layak disegani oleh warga desa. Wibawa ningrat yang utuh tak tergerus peradaban.

Mataku menangkap sosok kakek tua. Duduk diam di kursi goyang. Jendela lebar terbuka menghadap ke halaman. Depan jendela kursi bergoyang pelan, Eyang termangu. Bias cahaya matahari senja masuk ruangan. Sosok terkilas dalam siluet. Keanggunan dan wibawa masih lekat menyertai sosoknya. Trah keturunan bangsawan hingga kini tetap terpancar, tak luntur.

Dalem Eyang, Joko pulang.” Kataku sedikit tersendat. Kucium tangan yang diulurkan padaku. Kupandangi wajah renta Eyang. Sekilas sepuluh tahun lalu terbayang. Wajah yang banyak mengukir garis nasibku. Tampak ketegaran sekaligus kelembutan berpadu. Hanya gurat ketuaannya semakin dalam. Eyang tampak lelah.

“Eyang sehat?” hanya anggukan. Tak ada pertanyaan akan kepulanganku yang begitu mendadak, tanpa berita apapun. Aku menyukai sikap Eyang yang menunggu, sampai nanti aku akan bercerita sendiri. Eyang menyambutku seakan aku baru saja pulang dari bermain ke rumah kawan, bukan dari Jakarta.

*****

Remang malam. Di kebun belakang, biasa Eyang menikmati malam. Cuaca cerah, bintang bertabur, tak nampak awan. Aku duduk di balai bambu. Eyang di sebelahku. Menghisap tembakau rajang yang dilintingnya sendiri. Memandangi bintang. Sudah lama aku tak pernah bersantai. Menggenggam waktu. Di Jakarta semua bergerak cepat, larut dalam deburan suara mobil dan kepulan asap metromini.

“Eyang berhenti jadi Kepala Desa.” kata Eyang. Memecahkan keheningan malam. Terkejut aku mendengar. Pernyataan itu begitu mengusik. Begitu cintanya Eyang pada desa. Tak heran bilamana banyak warga menaruh kepercayaan. Menjadi sesepuh desa. Aku ingat, saking cintanya, pernah tercetus hidup Eyang diabdikan untuk kesejahteraan desa. Sampai desa tak lagi membutuhkan. Aku terkesan. Pengabdian Eyang sepenuhnya tulus. Tak sedikit pun ia mengharapkan imbalan.

“Sudah banyak perubahan.” Eyang merenung. “Kamu tahu, desa ini sudah dibeli orang.”

“Dibeli orang?” tanyaku penasaran.

“Banyak pabrik berdiri.” tambah Eyang. “punya orang kota.” kembali Eyang merenung dan menerawang.

“Sawah juga bukan punya orang desa lagi. Semua buruh orang kota.” Eyang meneruskan ceritanya. 

Tanpa dapat kucegah, ingatanku kembali pada masa sepuluh tahun lalu. Kutinggalkan desa, kuliah di Jakarta. Musim panen telah dekat. Padi tengah menguning. Rasa gembira warga bersambut. Upacara panen dipersiapkan. Harmoni dan selaras mengalir. Padi ditanam untuk mencukupi kebutuhan hidup. Sisa panen ditaruh di lumbung, selama masa tanam. Di waktu itulah aku meninggalkan desa. Berbekal idealisme pergi ke Jakarta menuntut ilmu. Jarang warga desa mengecap pendidikan, apalagi sampai ke perguruan tinggi. Beruntung aku, Eyang tak abai masalah pendidikan. Secara materi pun, Eyang cukup.

“Orang kota itu banyak uang. Hidupnya mewah. Membujuk penduduk jual tanah desa. Yang tidak mau, diancam. Sawahnya dirusak.” Lama setelah itu Eyang terdiam, memikirkan sesuatu yang memberatkan hati.

“Sebenarnya Eyang tidak suka. Eyang tidak tega orang desa kita harus nuruti kemauan mereka. Tapi orang kota bayar orang pengaruhi orang desa.” cerita Eyang terus bergulir. 

“Semua untuk kemajuan, pembangunan, katanya. Biar modern. Tapi pembangunan apa? Sekolah tidak pernah dibangun. Yang dibangun malah rumah-rumah gede. Pabrik. Eyang juga tidak mau lepas bengkok, tanah ulayat desa. Eyang malah dianggep kolot, tidak mau desa ini maju.

“Akhirnya Eyang tidak jadi Kades lagi. Saiki si Kardi iku sing dadi Kades. Antek orang kota. Tanah ulayat dijual. Wes kadung keblinger, bisa kuwalat si Kardi itu.”

Aku terhenyak mendengar cerita Eyang. Hanya karena itu Eyang dicopot jadi Kades? Ke mana rasa hormat mereka pada orang yang telah menjaga ketentraman desa ini selama bertahun-tahun? Apakah rasa serakah akan uang mampu membuat mereka tidak lagi dapat memandang dengan adil dan benar?

Aku kenal Kardi. Temanku sewaktu kecil, hanya berbeda 5 tahun lebih tua dariku. Kukenal dia sebagai orang yang  ramah dan bebas. Apakah benar dia menjadi kaki tangan para tengkulak tanah? Yang membuatku heran juga, bagaimana bisa dia yang masih begitu muda menggantikan Eyang menjadi Kades?

Percakapanku dengan Kardi sebelum aku pergi ke Jakarta tiba-tiba mendesak ingatanku.

“Apa cita-citamu?”  tanyanya pada suatu waktu.

“ Aku ingin mbangun desa kita ini, Di.” Jawabku segera.

“ Gimana caranya?” kembali Kardi bertanya.

“ Aku mau ke kota, sekolah, jadi insinyur atau jadi sarjana, sama sajalah. Lalu aku mau balik lagi. Pulang ke desa.” Begitulah memang. Membangun desa selalu jadi impianku, dan berbekal impian itu aku pergi ke Jakarta.

“Terus?  Pas balik lagi kamu ngapain?” Kardi terus memburuku dengan pertanyaannya.

“ Ya mbangun desa. Buat sekolah. Sawah dipelihara. Warga sejahtera. Bisa makan. Bisa sekolah. Hidup tenang. Gemah Ripah Loh Jinawi.” Jawabanku yang sarat mimpi.

“Lha kamu sendiri ingin jadi apa?” aku balik bertanya pada Kardi.

Aku pengen dadi wong sugih.” Jawab Kardi tegas.  “Aku ingin punya kayak yang ada di TV. Sekarang aku cuma makan dari padi Bapak. Tapi aku ndak punya TV, ndak ada hiburan. ‘Mahku nganggur panggon turu.  Aku ingin punya uang. Aku ingin punya semuanya.”

“Kan bapakmu punya sawah gede?” tanyaku. Keluarga Kardi memang tak sekaya keluarga Eyang yang berkecukupan, tapi sawah yang dimilikinya cukup untuk menghidupi keluarga agar tak kekurangan bahan pangan.

“Iya, tapi padi cuma bisa buat makan. Aku mau kaya biar bisa beli macem-macem.”

“Lalu, kamu mau gimana?” aku masih penasaran dengan jawaban Kardi.

“Aku mau usaha. Aku ndak mau ndadi wong deso terus. Kalau ndadi wong deso, yo wong deso sing sugih.”

Kardi...Kardi....ternyata impiannya tercapai. Dia jadi orang kaya di desa ini. Kades pula. Yang tak pernah kusangka hanyalah dia berani menjual tanah ulayat! Padahal hanya tanah itulah warisan turun-temurun yang dikelola oleh desa. Hak warga desa telah direnggut. Kades bagi Kardi mungkin tak lebih dari calo tanah. Asal dapat uang banyak, tak peduli lagi kesejahteraan desa, apalagi adat.

Wislah. Eyang capek. Sekarang Eyang mau istirahat saja. “ bisikan lirih Eyang terasa getir.

Eyang pasti sedih. Aku tahu itu. Penghormatan dan keseganan tak lagi ada. Hukum alam berlaku. Yang kuat menang, dan Eyang-lah si lemah, tersingkir. Kekecewaan Eyang paling besar, adat yang dipegang bertahun-tahun dilangkahi begitu saja. Begitu mudahnya penduduk desa dipengaruhi Kardi dan antek-antek para pemilik pabrik.

Eyang terdiam, menikmati rokoknya. Aku pun terdiam, terpekur menatap langit malam.

****

Keesokan harinya, aku terbangun saat matahari baru mengintip di kaki langit. Sedikit kaget karena tak ada kebisingan yang biasanya menemaniku seperti di Jakarta. Memang Jakarta tak pernah tidur, selalu menggeliat ramai.

Kutemani Eyang berjalan-jalan memutari desa. Seperti dulu ketika masih kecil. Jalan-jalan pagi keliling desa adalah ritual Eyang. Silahturahmi sambil menyehatkan badan, begitu canda Eyang dulu ketika aku bertanya alasan ritual itu. Aku tak membantah. Hanya mengikuti Eyang saja.

Kini ritual itu masihlah sama. Berjalan-jalan berdua dengan Eyang. Mendengarkan cerita Eyang. Menatap perubahan yang sungguh terjadi. Para warga desa mulai beraktivitas. Tapi tak ada yang memanggul cangkul menuju ke sawah. Yang kulihat adalah orang-orang berseragam bergegas menuju satu arah : pabrik.

Kuperhatikan, irama desa memang berubah. Suasana bersahabat telah hilang. Hanya tersisa kelesuan dan keletihan, menjalani hidup berat. Warga desa tak lagi bebas. Rutinitas pun telah mengikat warga, bak di kota. Tak ada lagi acara temu warga di aula desa setiap bulannya. Semuanya terlalu lelah.

Desa kini semakin padat. Eyang kembali bercerita. Semua berubah menjadi pabrik-pabrik. Petani menjadi buruh. Tapi upah para buruh pun sangat minim. Harga sembako semakin membubung. Kalaupun ada sawah untuk ditanam maka itu bukan lagi milik warga, melainkan sudah dipesan oleh tengkulak. Tak ada lagi yang menanam padi untuk kebutuhan sendiri. Hilang keceriaan panen. Anak sekolah pun tak lagi semangat. Bagaimana bisa? Bangunan sekolah bobrok. Tak pernah dipugar. SPP dan kebutuhan sekolah semakin mahal padahal upah buruh sangat kecil.

Tiba-tiba Eyang mengajukan pertanyaan yang membuatku kaget.

“Pembangunan iku opo to le?”

Aku hanya diam. Tak berani menjawab. Padahal jika dulu ada yang bertanya kepadaku apa itu pembangunan, aku pasti menjawab dengan menggebu-gebu bahwa pembangunan adalah peningkatan kesejahteraan dan ekonomi, pembangunan fisik dengan adanya pembangunan fasilitas yang lebih memudahkan bagi masyarakat diiringi dengan peningkatan kapasitas warga itu sendiri. Ah...sungguh jawaban yang utopis.

Kemajuan yang diharapkan justru menjadi pukulan telak. Keselarasan alam kini terganggu. Banyak pabrik berdiri, walau mengundang tenaga kerja. Desa semakin sesak. Terasa panas. Pepohonan mengilang, berganti tanah tandus. Kendaraan pun banyak lalu-lalang. Kepulan asap knalpot merambah desa. Limbah industri dibuang ke sungai. Tak bisa lagi untuk mandi, apalagi sebagai sumber air minum.

Pabrik banyak menjajah tanah desa. Awalnya hanya ada satu pabrik sepatu, namun lama kelamaan bermunculan pabrik-pabrik lain : tekstil, makanan, hingga mebel. Tingkah laku warga desa, terutama anak muda desa, tak lagi sama. Gaya hidup kota masuk seiring industri. Pendidikan pun tak lagi menjadi prioritas. Yang ada hanyalah keinginan untuk menjadi kaya dan terkenal dengan cepat. Rupanya racun materialisme juga sudah merembes. Baru beberapa tahun saja warga desa sudah bertingkah seperti orang kota. Semua dinilai dengan materi. Tanpa disertai pengetahuan memadai. Hanya meniru orang kota. Banyak anak muda yang tak mau bekerja. “Sudah tak ada sawah” begitu alasan mereka. Pabrik pun tak mau menampung tenaga kerja dengan kualifikasi keahlian yang masih rendah. Akhirnya, main judi dan kadang mabuk-mabukan, jadi keseharian. Ada pula yang memilih untuk keluar dari desa, entah mengadu nasib di kota ataupun menjadi TKI.

“Eyang kok lebih seneng desa waktu dulu. Tidak ada yang kekurangan. Lebih rukun. Tidak ada iri-irian. Ah...mungkin Eyang wis sepuh yo, ingat zaman dulu terus.“ Ucapan Eyang menggantung.

Aku teringat ketika aku berkumpul bersama di balai bambu depan rumah. Belajar bersama, mengobrol, makan pisang goreng dan teh manis yang disediakan Eyang Uti. Ketika adzan Magrib terdengar, bergegas beranjak menuju Masjid bersama teman-temanku. Al Qur’an di tangan terdekap dalam dada. Usai sholat magrib, mengaji sambil menunggu adzan Isya.

Waktu rasanya tak pernah kurang. Seharian pergi memancing di kali. Bermain di sawah. Mencari belut. Pergi sekolah dengan sepeda. Menggoda gadis desa. Menjolok mangga. Membakar ikan. Belajar pun tak lupa, syarat utama bagi cucu Eyang. Tak jenuh Eyang mengingatkan bahwa pendidikan itu penting. Agar dapat berguna bagi diri sendiri dan juga orang-orang yang membutuhkannya, begitu selalu kata Eyang.

Entah kenapa, mendengar cerita Eyang dan merasakan sendiri perubahan di desa, ada rasa bersalah yang menyelinap dalam hatiku. Teringat bahwa di Jakarta sana aku begitu mengagungkan pembangunan. Semua pembangunan adalah untuk kesejahteraan masyarakat, walau entah masyarakat mana yang sejahtera.

 ****

Tiga hari sudah aku di desa. Rutinitas yang kujalani berbeda dengan di kota. Bangun pagi. Berjalan keliling desa bersama Eyang. Menyapa warga yang hendak bekerja ke pabrik. Siang hari membantu Eyang bersih-bersih rumah. Maklum, Eyang Uti sudah tak ada dan Eyang tak mau mengambil pembantu, sehingga tugas bersih-bersih diembannya sendiri. Kadang memang ada sanak saudara dekat yang datang membantu. Sore hingga malam hari mengobrol dengan Eyang. Terkadang berjalan sendiri mengamati desa.

“Kamu pulang mau apa ‘to?” tanya Eyang perlahan ketika aku menemaninya merokok di malam hari itu. Membuyarkan lamunanku. Akhirnya pertanyaan ini terlontar juga. Sudah tiga hari kutunggu kapan Eyang akan menanyakan hal ini. Walau sesungguhnya aku tak tahu apa yang akan kuceritakan.

“Sudah lama kamu tidak pulang. Eyang sangka kamu sudah hidup enak di Jakarta. Lupa desamu. Katanya ingin bangun desa. Kamu keduluan, le. Sudah ada yang bangun desa. Sayang, bangun desa kok jadinya rusak.” Keluh Eyang.

Sebersit rasa sesal hinggap di hatiku. Kurasakan betapa tingginya harapan Eyang padaku, dulu. Menjadi sarjana, lalu pulang ke desa, begitulah impianku dulu. Sayang, impian itu pudar seiring waktu. Desa kutinggalkan. Pembangunan yang diidam-idamkan Eyang terjadi, namun bukan olehku. Bukan pula untuk kesejahteraan warga desa. Hanya untuk sekelompok orang berduit. Warga desa hanya budak kapitalisme. Justru mereka yang kelaparan di tengah gemerlapnya jargon pembangunan.

“Joko hanya ingin pulang ke desa. Jenuh dengan Jakarta. Joko ingin mencari kembali apa yang Joko rasa hilang di tengah Jakarta.” Jawabku perlahan.

Aku ingin kembali. Pulang ke pangkuan desaku yang damai. Batin, badanku sudah letih. Mendamba keselarasan dan keharmonisan. Aku ingin kembali bermimpi dan merajut impian yang begitu lama kutunda. Aku kehilangan arah, dan kuharapkan Eyang beserta desa yang begitu kukenal dapat menyembuhkan rasa kosong itu.

“Pulang ke mana? Desamu sudah hilang. Sudah jadi Jakarta juga.”

*****

Keterangan :

Saiki si Kardi iku sing dadi Kades : Sekarang si Kardi yang jadi Kepala Desa

Wes kadung keblinger.: Sudah terlanjur serakah

Mahku ngan gur panggon turu.  : Rumahku kecil (idiom)

Tanah Ulayat : Tanah bersama yang selama ini jadi hak petinggi desa sebagai “bayaran” dalam memimpin desa  (Kepala Desa)

“Pembangunan iku opo to le?” : Pembangunan itu apa nak?

Jan 18, 2008

Pasti

Di antara ketidakpastian
Hanya ada kepastian
Bahwa semua ketidakpastian
Adalah pasti
Dan menjadi pasti
Dalam ketidakpastian
Adalah kepastian
Yang menidakpastikan