Nov 10, 2010

ANTARA PESONA MISTIK DAN KEINDAHAN LAWANG SEWU


Selama ini wisata kuliner lebih menarik minat saya ketika berkunjung ke suatu kota baru. Namun kali ini saya ingin mencoba sesuatu yang berbeda, wisata sejarah berbumbu mistik. Kenapa berbumbu mistik? Karena pada kunjungan saya yang pertama kali ke kota Semarang yang terkenal dengan lumpianya ini saya mengunjungi Lawang Sewu, atau Gedung Berpintu Seribu.

Untuk sebagian besar orang, terutama orang Semarang dan sekitarnya, Lawang Sewu dikenal sebagai tempat yang angker, menyimpan misteri, dan tentu saja, banyak hantunya. Tak heran jika Lawang Sewu pernah dijadikan syuting reality show horror dan adu nyali Dunia Lain dari Trans TV. Hal ini tentu saja menambah rasa penasaran saya untuk mengunjungi bangunan tua  yang bertempat di salah satu sisi persimpangan Tugu Muda ini.

Pada awalnya, yang menjadi bayangan saya Lawang Sewu adalah gedung yang gelap, kumuh, dan tidak terawat, sehingga pantas saja menjadi sarang hantu. Namun ketika pertama kali melihat gedung ini dari kejauhan, ketika memutar di persimpangan Tugu Muda, semua itu buyar. Gedung Lawang Sewu yang bergaya art deco terlihat sangat cantik dan anggun, terutama dengan latar belakang langit kelabu sore hari itu. Dua menara kembarnya masih berdiri tegak menghadap Tugu Muda, dengan sapuan warna kecoklatan di atapnya.


Setelah memasuki area parkir yang terletak tepat di pintu masuk gedung, barulah saya semakin bisa mengapresiasi keindahan Lawang Sewu. Memang, seperti halnya gedung-gedung tua di Indonesia, kondisi Lawang Sewu cukup mengenaskan, dalam arti memang tidak terlalu terawatt. Untung saja, saat saya berkunjung, Lawang Sewu tengah dalam proses renovasi sehingga banyak bahan-bahan bangunan tersebar di mana-mana, begitu juga tangga-tangga dari bambu yang digunakan para tukang untuk mengecat ulang tembok Lawang Sewu yang mulai kusam dan berjamur. Mudah-mudahan ketika renovasi ini selesai (diperkirakan baru akan selesai tahun 2013 nanti) Lawang Sewu bisa terlihat megah seperti ketika dahulu baru dibangun oleh dua arsitek ternama Belanda yaitu: Prof. Jacob F. Klinkhamer dan B.J Queendag.

Di samping gedung utama, terdapat lokomotif kereta asli yang mengingatkan bahwa Lawang Sewu ini memang pada asalnya merupakan milik NV Nederlandsch Indische Spoorweg Mastshappij (NIS), yang merupakan cikal bakal perkeretapian di Indonesia. Saat itu ibu kota negeri jajahan ini memang berada di Jakarta. Namun pembangunan kereta api dimulai di Semarang. Jalur pertama yang dilayani saat itu adalah Semarang - Yogyakarta.


Untuk masuk dan menjelajahi Lawang Sewu ini tidak perlu bingung atau bahkan takut tersesat. Pengunjung Lawang Sewu, yang merupakan salah satu dari 102 bangunan kuno di Semarang yang patut dilindungi,  dapat memanfaatkan jasa pemandu dengan hanya membayar tiket masuk sebesar Rp 10,000 per orang untuk berkeliling Lawang Sewu.
Perhentian pertama ketika memasuki Lawang Sewu adalah selasar depan, yang diisi dengan kota kaca menampakkan maket Lawang Sewu secara utuh, dan juga papan-papan berlapis kaca yang memaparkan sejarah dan informasi mengenai Lawang Sewu. Pemandu saya ketika itu dengan informative menceritakan asal mula Lawang Sewu dari sejak dibangun hingga saat ini.

Fondasi pertama dibuat 27 Februari 1904 dengan konstruksi beton berat dan di atasnya kemudian didirikan sebuah dinding dari batu belah. Semua material penting didatangkan dari Eropa, kecuali batu bata, batu gunung, dan kayu jati. Setiap hari ratusan orang pribumi menggarap gedung ini. Lawang Sewu resmi digunakan tanggal 1 Juli 1907. Dalam perkembangannya, Lawang Sewu juga terkait dengan sejarah pertempuran lima hari di Semarang yang terpusat di kawasan proliman (Simpanglima) yang saat ini dikenal sebagai Tugu Muda. Pada peristiwa bersejarah yang terjadi 14 Agustus 1945 - 19 Agustus 1945 itu, gugur puluhan Angkatan Muda Kereta Api (AMKA). Lima di antaranya dimakamkan di halaman depan Lawang Sewu. (http://www.arsitekturindis.com/index.php/archives/2004/03/)
Kami pun meneruskan berkeliling dalam kondisi remang-remang cahaya sore. Kondisi di dalam Lawang Sewu memang dibiarkan gelap tanpa lampu. Menurut sang pemandu, hal tersebut untuk menambah kemisteriusan dan juga keseraman Lawang Sewu. Tepat  setelah selasar, tampak tangga menuju lantai dua dengan jendela dari kaca patri warna warni yang begitu indah. Terdapat 3 jendela besar dengan kaca patri bermotif mozaik dan gambar 2 orang perempuan di jendela tengah, dengan tiang-tiang yang kokoh mengapit masing-masing jendela.Efeknya sangat menakjubkan, bagaikan tengah berada di gereja khas Eropa. Menurut sang pemandu, kaca patri tersebut masih asli dari sejak dibangun dan dibawa khusus dari Belanda.
 

 


















Pemandu membawa kami menelusuri bagian Lawang Sewu yang lain. Dia menunjukkan ruangan yang dipakai kantor pada zaman dahulu, lengkap dengan semacam wastafel di dinding. Lawang Sewu terbagi menjadi dua sayap yang memanjang ke belakang, dengan dengan lapangan tepat di tengah – tengah gedung. Tak heran jika Lawang Sewu disebut dengan gedung berpintu seribu karena memang terdapat banyak sekali ruangan di gedung berlantai dua ini (dan satu lantai bawah tanah), dengan masing-masing ruangan dilengkapi pintu berdaun dua dan sepasang pintu geser. 


Kami dibawa sang pemandu berkeliling dari satu sayap bangunan ke sayap bangunan lainnya. Terkadang, karena  terlalu banyaknya pintu dan ruangan dimana semua pintu dibiarkan terbuka, sebuah lorong terlihat sangat memanjang bagaikan tanpa akhir.  Deretan pintu di koridor pun membawa kesan kuno, dengan model pintu bergaya Belanda dari bilah-bilah papan berwarna kecoklatan yang terbentang dari satu sisi gedung ke sisi gedung lainnya.
 














Hal yang sangat membedakan Lawang Sewu dengan gedung-gedung zaman sekarang adalah di dalam Lawang Sewu tidak ada kamar mandi, hanya ada wastafel untuk cuci tangan atau muka. Kamar mandi berada di bangunan tersendiri di luar Lawang Sewu. Ini dikarenakan orang Belanda percaya bahwa karena kamar mandi biasanya lembab dan basah, maka hal tersebut dapat mengundang penyakit. Sungguh berbeda dengan desain zaman sekarang di mana jika bisa kamar mandi terletak sedekat mungkin dengan kamar, bahkan jika memungkinkan ada di dalam kamar tidur.
 
Dikarenakan bentuk Lawang Sewu yang terbagi menjadi dua sayap bangunan, ketika berada di lantai dua saya menyempatkan diri untuk memfoto sayap bangunan Lawang Sewu secara utuh, lengkap dengan pilar-pilar yang masih berdiri tegak dan juga deretan pintu tinggi berjajar terbuka ke entah berapa banyak ruangan.  Terbayang ketika Lawang Sewu masih aktif menjadi kantor, tentu banyak sekali orang yang lalu lalang di pintu-pintu tersebut. Setelah kemerdekaan, Lawang Sewu  dipakai sebagai kantor Jawatan Kereta Api Indonesia (DKARI) atau sekarang PT Kereta Api Indonesia. Selain itu pernah dipakai sebagai Kantor Badan Prasarana Komando Daerah Militer (Kodam) IV/Diponegoro dan Kantor Wilayah (Kanwil) Departemen Perhubungan Jawa Tengah.
 

Di lantai dua, terdapat satu ruangan terbuka yang disebut balkon, tepat menghadap tugu muda. Ruangan inilah, dengan menara kembar di sebelah kanan dan kirinya yang tampak dari Tugu Muda ketika pertama kali saya melihat Lawang Sewu tadi. Pada zaman Belanda dan juga ketika Lawang Sewu digunakan oleh Kodam IV Diponegoro, balkon ini adalah tempat bagi para pemimpin pasukan atau kepala kantor ketika dilakukan upacara. Di balik balkon ini, terdapat satu ruangan luas yang disebut dengan ballroom atau balairung, tempat di mana biasanya dilakukan acara-acara seperti dansa atau jamuan makan.

 


Yang unik, jendela di ruangan ini masih memiliki engsel peninggalan Belanda, dengan daun jendela yang terbuka ke atas, bukan ke bawah seperti engsel zaman sekarang. Posisi jendela yang terbuka menghadap ke atas menyebabkan angin lebih mudah masuk sehingga walaupun tidak ada AC, udara Lawang Sewu masih terasa segar dan tidak panas.
 
Puas menjelajahi lantai satu dan dua, sang pemandu mengajak kami untuk turun ke ruang bawah tanah di mana terdapat ruangan-ruangan yang dahulunya digunakan sebagai tempat penyimpanan air dan ventilasi di zaman penjajahan Belanda, namun ketika Jepang menjajah Indonesia, ruangan bawah tanah tersebut disalahgunakan menjadi penjara dan ruang penyiksaan tahanan.
Untuk masuk ke ruangan bawah tanah ini, pengunjung cukup membayar Rp 5,000 untuk sewa senter (dikarenakan di bawah tanah cahaya sangat minim) dan juga sepatu boot (karena sedikit tergenang air dikarenakan hujan terus menerus yang meresap ke bawah bangunan tersebut). Sayang sekali, karena keterbatasan waktu, saya tidak sempat menjelajahi ruangan bawah tanah tersebut.
 


Saya hanya mendapatkan deskripsi dan cerita dari sang pemandu, bahwa penjara tersebut mempunyai kedalaman 3 meter dari permukaan dengan lorong kurang lebih 1,5 meter dengan ketinggian langit-langit 2 meter tanpa ada cahaya. Terdapat ruangan yang berisi bak-bak beton yang tingginya mencapai 1 meter. Tempat ini digunakan untuk menyiksa para tahanan dengan dipaksa berjongkok dengan direndam air setinggi leher sementara bagian atasnya ditutup jeruji besi. Dengan cara penyiksaan itu ruangan ini diberi nama penjara jongkok.  Selain itu ada pula yang dikenal dengan penjara berdiri yaitu ruangan berbentuk sekat batu bata dengan ukuran 1x1 meter, persis berbentuk seperti lemari. Sekat-sekat sempit biasanya diisi oleh 5 sampai 6 tahanan yang dibiarkan berdiri hingga mati lemas. Ada pula ruangan yang disebut dengan ruangan eksekusi, dimana terdapat satu meja terbuat dari baja tertanam di lantai. Disinilah para tahanan dieksekusi mati dengan dipenggal kepalanya.

Sembari mendengarkan cerita sang pemandu, kami pun dengan enggan mengikutinya kembali ke halaman tengah, tak lupa untuk mengambil foto Lawang Sewu dari belakang, lengkap dengan sang menara kembar.

Tour mengeliling Lawang Sewu ini tidak hanya dilakukan siang hari, namun banyak juga pengunjung yang lebih memilih berkeliling di malam hari dengan hanya berbekal senter dikarenakan di dalam  Lawang Sewu tidak ada lampu yang dipasang sehingga tentu saja suasananya menjadi gelap gulita.

 Walaupun sarat dengan misteri dan mistik, ternyata keindahan Lawang Sewu sempat dimanfaatkan untuk syuting film Ayat-ayat Cinta, dimana menurut sang pemandu, 9% dari film tersebut dilakukan di Lawang Sewu. Hal ini tidak mengherankan karena dengan desainnya yang bergaya kolonial, berada di Lawang Sewu  bagaikan bukan berada di Indonesia, melainkan di belahan dunia Eropa, atau dalam kasus film ini, di daratan Mesir. Misalnya saja tangga ini.


Lawang Sewu tetap menyisakan kesan mendalam bagi saya. Mudah-mudahan pada kunjungan berikutnya ke Semarang, saya bisa menyempatkan diri untuk berkunjung kembali ke Lawang Sewu dan kali ini menjelajahi ruangan bawah tanahnya. Semoga pula Lawang Sewu dapat terjaga dan terawat keindahannya karena sungguh sayang jika gedung seindah ini hanya dijadikan sarang hantu belaka, bukan menjadi bangunan bersejarah yang diapresiasi keindahannya. Mengenai masalah apakah benar ada hantu atau tidaknya, mungkin Anda dapat berkunjung dan membuktikannya sendiri.