Sep 5, 2011

Kapan oh Kapan

Kapan?” Mungkin itulah kata tanya yang paling menyebalkan bagi saya. Celakanya, kata “kapan” itu pasti selalu wajib muncul di setiap masa Lebaran. Yah mungkin titik utamanya bukanlah Lebarannya, tetapi dalam pertemuan keluarga alias kumpul-kumpul yang pasti terjadi saat Lebaran. Bukankah Lebaran adalah waktu untuk bertemu dengan sanak saudara?
Nah “kapan” ini pertama kali muncul saat masih kuliah, dengan “Kapan lulus?”. Beruntunglah saya sudah kerja sebelum lulus, sehingga tidak sempat kena “Kapan kerja?”. Tapi sudah pasti setelah bekerja, yang ditanyakan adalah “Kapan nikah?” apalagi kalau sudah ada saudara yang menikah duluan alias “dilangkahi.” Setelah menikah, tentu saja yang ditanyakan adalah “Kapan hamil?” atau “kapan punya anak?” 

 
Sialnya (atau beruntungnya ya?) saya masih belum juga hamil dan memang belum minat punya anak. Jadilah setiap tahun (dan terkadang tidak hanya saat Lebaran), ada hujan “kapan hamil?” dan “belum isi?” yang lumayan mengganggu. Masih untung kalau saya dipersepsikan belum hamil, makanya ditanyakan kapan hamilnya. Yang lebih nyelekit sih kalau ada yang nyeletuk “Sudah berapa bulan?” karena melihat tubuh yang semakin montok saja dari waktu ke waktu L

Mungkin memang kebiasaan dan budaya orang Indonesia untuk tahu kehidupan pribadi orang lain dengan lebih mendetail. Jadilah pertanyaan-pertanyaan bersifat pribadi seperti itu dianggap sebagai sesuatu yang biasa, malah wajib ditanyakan. Belum lagi pemikiran yang “garis lurus” di mana hidup itu harus dilewati dengan sekolah-kuliah-kerja-kawin-beranak-dan beranak lagi-sampai bercucu cicit. Exactly in that order dan kalau bisa tanpa ada jeda setelahnya.

Efek samping pemikiran garis lurus seperti itu terutama dirasakan oleh orang-orang yang pemikirannya zig-zag seperti saya. Sudah lebih 2 tahun menikah tetapi niat untuk punya anak belum ada. Sementara adik ipar menikah 3 tahun sudah beranak dua, yang satu lagi malah baru 6 bulan nikah sudah hamil. Tekanan yang dirasakan oleh saya dan suami pun semakin tahun semakin berat untuk segera beranak pinak.

Kalau mood sedang jelek seringkali pertanyaan dan juga tanggapan terhadap tidak-juga-hamil atau kenapa-kok-hamil-ditunda itu membuat kesal. Kenapa kesal? Karena dijawab seperti apapun tetap terasa “tidak benar”. Bukan salah lho, karena memiliki anak adalah hak setiap orang, bukan kewajiban, tetapi “tidak benar” menurut pemikiran umum. Kalau dijawab belum dikasih,malah lanjut wejangan bagaimana supaya cepat punya anak. Kalau dijawab nanti saja, jadi dibahas keuntungan punya anak saat masih muda dan kuat. Kalau dijawab belum siap, ditanggapi dengan perkataan kalau nunggu siap tidak akan pernah siap. Pokoknya urusan jadi panjang kalau dijawab.

Terkait lagi dengan “kapan hamil” ini adalah perlakuan orang-orang yang kebetulan hamil duluan (walau mungkin nikahnya belakangan). Entah mengapa sepertinya mereka semangat sekali menularkan kebahagiaan eh kehamilan mereka ke orang lain. Sudah berapa banyak teman-teman dan saudara yang mendoakan saya supaya cepat tertular hamil, bahkan sampai injak kaki segala karena dipercaya bahwa jika diinjak oleh perempuan yang sedang hamil maka akan bisa ketularan hamil.Sungguh mengganggu sekali. Tidak setiap orang ingin punya anak dan bagi mereka yang ingin pun mungkin masih nanti, tidak setiap orang yang menikah harus segera beranak bukan?

Sayangnya pemikiran seperti itu hanya ada di segelintir orang saja. Bahkan pernah satu ketika saya sedang kumat sablengnya dan iseng menjelaskan panjang lebar bahwa kalau saya beranak sekarang itu bukan pilihan yang logis karena saya dan suami masih beda kota, eh tanggapan si teman adalah "udah gak usah pakai logika, nanti juga jalan sendiri". Pendapat seperti itu belumlah sreg bagi saya. Kalau punya anak tidak pakai logika, apakah nanti ketika memberi makan anak, menyekolahkan, dan segala tetek bengek lainnya juga tidak pakai logika?

Akhirnya untuk urusan ini, memang senjata terbaik adalah senyum dan no comment sajalah. Selain itu, karena saya tidak suka ditanyakan hal seperti itu, maka sebisa mungkin saya tidak menanyakan berbagai varian “kapan” itu kepada teman-teman dan saudara saya.  Biarkan saja berjalan seiiring waktu. Setiap orang memiliki jalannya masing-masing, tidak perlu dipaksakan harus melewati jalan yang sama dengan tempo yang sama juga toh?

0 comments:

Post a Comment