Sep 15, 2011

Cincin Emas

All is fair in war and love.

Sayangnya, tidaklah fair untuk bersaing dengan hantu. 

Bagaimana mungkin aku bersaing dengan kenangan yang berurat akar selama 11 tahun? Dengan segala gelak tawa, amarah, dan air mata yang pernah dibagi. Dengan kemesraan yang terjalin demikian erat. Dengan cinta yang tak juga lekang oleh waktu. 

Sudah tiga tahun berlalu. Tidak, bukannya aku mensyukuri kepergiannya, atau bahkan bersorak atas kehilanganmu. Aku masih ingat wajah bersimbah air matamu saat menatap dirinya yang terbujur kaku. Aku masih ingat saat senyum yang biasanya selalu menghiasi bibirmu menghilang seiring dengan tubuhnya yang semakin mendingin. Aku masih ingat wajah sendumu saat duduk terpekur menatap peti mati kekasih tercintamu. Semua itu membekas dalam ingatanku dan membuatku semakin mencintaimu. 



  Tidak, aku tidak menghitung sudah seberapa lama dia pergi. Aku hanya menghitung waktu kapankah kau akan membuka hatimu kembali. Apakah bulan depan, atau tahun depan, atau bahkan 10 tahun lagi. Apakah aku masih ada disini untuk melihatnya ataukah jalan kita sudah terpisah terlalu jauh untuk bersimpangan lagi. Atau apakah aku yang bisa membuatmu menanggalkan cincin emas yang masih saja melingkar di jari manismu itu ataukah orang lain yang tidak kukenal.

Ah ya, cincin emas itu. Cincin janji suci pernikahanmu yang tak pernah kau tanggalkan. Selalu ada di sana, sebuah bukti kepemilikan akan dirimu.  Apakah mungkin kau akan mulai mencari cinta baru ketika cincin itu tak lagi di sana? Ataukah justru kau tanggalkan cincin itu saat kau menemukan cinta baru?

Cincin emas yang menyebalkan. Kenapa setiap orang butuh suatu benda untuk memproklamirkan cinta mereka? Tak dapatkah mereka meresapi cinta mereka dalam diam dan tak membutuhkan suatu benda apapun untuk menunjukkan kepada dunia bahwa mereka saling mencintai? Lihat saja betapa banyaknya benda-benda yang sengaja dibuat berpasangan untuk sepasang kekasih, dari mulai gantungan kunci hingga kaos. Tetapi benda nomer satu sebagai perlambang cinta tentu saja adalah cincin emas, atau lebih tepatnya cincin pernikahan.  

Kau tidak pernah membicarakan istrimu, walaupun teman-teman kita selalu membicarakan istri dan keluarga mereka. Tapi aku selalu melihat istrimu, dia ada di cincin emas yang kau kenakan itu.  Dia selalu ada bersamamu, karena seperti yang aku bilang tadi, kau tak pernah melepas cincin itu. Dan selama cincin itu ada di sana maka kau tak akan pernah ada di sini, di dunia manusia hidup. Kau akan selalu berada di sana bersama istrimu yang sudah menjadi hantu dan mengenakan cincin darimu. Dan tak akan ada seorang pun yang bisa merebut hatimu selama hantu istrimu masih ada di sana.

“Mungkin masih terlalu cepat untuk dia mencari istri baru lagi.” Kata teman baikku ketika dia lagi-lagi memergokiku memandangmu dengan penuh kerinduan.

“Tapi sudah tiga tahun lebih dan dia masih saja mengenakan cincin sialan itu.” Tukasku kesal.

“Yah mungkin dia tidak siap untuk melepasnya. Bukankah itu seperti mengumumkan bahwa dia sudah kembali ke pasar cinta?” temanku hanya menjawab acuh tak acuh. Sudah terlalu sering aku mencurahkan rindu dan kekesalan di hatiku akan dia yang masih saja mengenakan cincin.

“Sudah waktunya dia kembali ke pasar cinta. Kalau dia tetap memakai cincin sialan itu, bagaimana mungkin ada perempuan  yang mendekatinya? Itu kan jadi seperti melanggar janji pernikahan,” sahutku lagi.

Sungguh, lama kelamaan cincin itu benar-benar membuatku muak. Aku tak lagi dapat memandangmu tanpa memandang tangan kirimu dan mengecek apakah cincin itu masih ada disana. Aku ingin melepasnya dari jarimu dan membuangnya jauh-jauh. Atau kulebur kembali dalam api dan menjadikannya tak berbentuk. Aku ingin membuatmu bebas, tak lagi dibayang-bayangi oleh hantu istrimu. Hingga setidaknya aku memiliki kesempatan untuk bersaing memiliki hatimu, bersama dengan jutaan perempuan lainnya, bukan dengan hantu. Aku tak akan berhenti berusaha sampai aku bisa membuatmu menanggalkan cincin itu.

“Kenapa kau tidak bilang saja kalau kau mencintainya? Mungkin itu akan membuatnya melepas cincin itu?  Setidaknya dia akan tahu ada cinta di luar sana.“ saran temanku. Dan ide itu pun tumbuh di kepalaku, memanggil-manggilku untuk membuatnya menjadi nyata.

 “Aku mencintaimu.” Kataku perlahan, memandang dirinya yang begitu kucintai. Kugenggam erat-erat cincin emas sederhana miliknya erat-erat di telapak tanganku. Cincin yang akhirnya terlepas juga dari jari manisnya. Cincin yang menjadi kunci kebebasannya untuk mencintai perempuan lain, misalnya saja aku, si pembebas ikatan dia dan hantu istrinya. Cincin yang seharusnya sudah sedari dulu dia lepaskan, sebelum aku lepaskan dari dirinya.

Tentu saja, cincin itu datang dengan sepotong jari manis, tapi toh all is fair in love and war kan? Apalah artinya sebuah jari manis?

0 comments:

Post a Comment