Tiba tiba ingin menangis. Padahal dunia masih baik-baik saja. Hanya guncangan sedikit pada duniaku, dunia dia, dunia kita. Menyaksikan buliran buliran air mata tertahan. Emosi yang terbekap dalam jiwa. Ketakutan akan masa depan yang belum terputuskan. Musibah tak terduga datangnya. Kelalaian ini harus kita bayar. Ya...KITA yang harus membayarnya, tidak kau sendiri ataupun aku sendiri. Karena kita adalah satu.
Tapi aku tidak bisa menangis. Pun kali ini. Air mataku lama membeku. Hanya pada saat guncangan jiwa terbesar tangis itu pecah. Berderai basahi jiwaku yang lama kering. Mungkin magnitude gempa dalam hidup kita ini kurang besar. Hingga masih tak ada sebutir pun air mataku. Hanya ada dirimu yang larut dalam pelukku. Maafkan aku jika aku tak hanyut. Harus ada yang berpikir jernih di sini. Menyelesaikan semua masalah itu. Bukanku tak pahamimu, tapi memang air mataku tak ada lagi. Yang tersisa adalah keinginan untuk menangis, namun tak juga tertumpah.
Duhai dirimu, hati ini masih pedih memandang luka yang kau sandang. Ingin kudekap dirinya hingga tak lagi ia rasakan sakit. Apakah pelukanku kurang erat? Kuresapi dukamu, seperti kukecap gelisahmu. Masa depan ini kembali patah. Kerapuhan kita gilakanku. Dukanya perihkan mata, tapi tetap tak ada air mata. Ini jiwaku merintih sedih, untukmu. Aku hanya bisa berada di sampingnya, selama ia butuhkan aku.
Tapi perlukah aku bertanya siapa yang akan disampingku ketika ku butuhkannya?