Jul 19, 2005

Dualisme

Ada perasaan campur aduk dalam hatiku. Entah apakah ini pengaruh malam yang membiusku ataukah lalu yang menghantamku. Padahal malam terlalui dengan cita. Lama sudah tak lagi kurasakan cubitan pedih. Tertidur dalam rengkuhan damai. Ah...betapa jarangnya kunikmati. Setelah mimpi mimpi buruk itu. Hei...tapi sudah lama berlalu bukan? Bahkan abunya pun sudahlah tertiup musnah. Ada bejana yang menampungku kini. Bejana yang mungkin akan kupecahkan pada waktunya nanti. Ketika geliatnya sudah tak terperi. Mungkin juga tidak. Walau pecahannya akan kucurkan darah dari keseluruhan adaku lagi. Tunggu hingga kepenatan benar benar menyublim. Tak terhenti dan juga ternyata masihlah terus berlari.

Ada kisah ingatkanku pada neraka yang dulu dengan suka rela kujalani. Bekas lukanya masihlah ada. Tersembunyi di balik kebahagiaanku. Hatiku tertawa dan bersuka. Namun setiap selku masih menangis tersedu di puncak malam. Aneh, bagaimana bisa ia tertawa dan menangis bersamaan? Apa penyebabnya pun aku tak lagi tahu. Terlalu banyak symptom yang membombardirnya. Faktor dan variabel yang sebenarnya tak lagi asing namun juga tak kukenali lagi. Sudah sudah...bukan ini yang hendak kubicarakan.

Setiap orang pastilah pernah merasakan sakit. Hanya saja, apakah sakit itu akan diumbar kepada dunia ataukah ditutup rapat rapat dalam peti mati. Untuk dikubur kemudian dilupakan. Walau masih ada lubang menganga di dalam hati itu. Menunggu pecahan yang mungkin tumbuh di seberang sana. Atau mungkin sekali tak akan pernah tertutup. Menjadi momentum yang teringat.

Sungguh sedih melihat ketika awal yang dimulai dari senyum merekah, terakhiri dengan matinya kedamaian. Tak ada akhir yang manis, tapi mestikah terubah menjadi begitu pahit? Hingga rasa menjadi mati? Hingga lontaran lontaran benci mendidih pedih. Aku berpusing di sini. Mencoba meraba manakah ego yang kau tampilkan. Adakah alter egomu yang memberontak ataukah itu justru egomu sesungguhnya? Tak ada yang memberitahuku. Harus kucari jawabnya sendiri. Walau mungkin ini akan berakhir dengan sama pahitnya. Karena aku tak percaya akan manis yang menanti. Tak ada manis dalam keberakhiran. Kecuali ketika jaringan itu terlerai dalam sadar. Ketakutan ini membelengguku. Rasa cemas tatanan hidupku yang sudah susah payah kutata ulang akan berubah. Menjadi chaos dan menyeretmu ke dalamnya. Berperang kita di atas tanah yang kita cintai. Seperti dulu ketika nerakaku dan nerakamu belumlah bersatu. Masih menggelepar dalam sakitnya masing-masing. Hanya saja, sebelum benih pertama luka mulai mengendap, aku akan berlari. Menuju kepompong putih yang akan menghitam oleh racun peperangan. Semoga kepompong itu tak perlu kurajut dalam waktu dekat.

Kengerian ini kutakutkan tumbuh perlahan. Berdampingan dengan rasa yang hangat. Waw...hidup memang penuh dengan kontradiksi. Lagi lagi aku bertanya. Bagaimana mungkin dingin sejalan dengan panas yang membakar? Musim saljuku masihlah turun. Begitu juga denganmu. Terjebak kita di antara dua dunia ini. Lampau dan kini. Rasakan gelisahku yang gemetar. Takut aku akan hadirmu. Karena aku adalah orang dengan pintu pintu tertutup. Bentengku masihlah tinggi dan kokoh. Aku berdiri di pucuk menara. Melihat kau yang tengah membangun kembali istanamu. Akankah aku turun dan berlari membantumu? Ataukah aku hanya mengawasimu?

Ternyata selama ini aku selalu dimanja dengan kisah dulu yang usang. Satu...dua....tiga....empat....Semuanya adalah pemilik lampau yang tertutup kotak kaca. Bisa kulihat namun tak pernah kurasakan. Tak pernah merasakan bara yang meletik darinya. Dan aku pun terduduk manis. Menunggu kini yang menjemputku tanpa ada bias lalu. Hanya saja sekarang? Ini bukanlah kotak kaca. Melainkan dunia yang lebar. Memungkinkanku untuk bertabrakan dengannya di suatu masa nanti. Semoga pada saat itu panasnya telah menyurut. Adakah bara itu padam sekarang? Aku tak tahu. Hanya saja aku dengan paranoidnya masih saja merasakan panasnya. Dan aku tak mau terbakar. Ini adalah egoku yang menuntut perpenuhan. Padahal tak pernah kuberikan perpenuhan pada jiwa lain yang kugenggam. Cukupkah? Aku yakin tak akan tercukupkan. Setengah. Tak lebih. Ini resiko atas pilihan yang kita ambil.

Bukan pada tempatku untuk menilai atau membuat asumsi. Tapi...oh sungguh tanya tanya ini menggangguku. Ini bukanlah penelitian yang biasa kulakukan. Ini adalah hidup. Hidupku, hidupmu, hidup kita. Perputaran ini tak ada jalan kembali. Hanya cabang yang semakin banyak. Waktu pun terus bergulir. Menanti untuk kita tapaki. Entahlah apakah aku akan menapakinya sendirian, ataukah bersama seseorang. Belum tentu kamu, dan belum tentu dia. Hanya seseorang.

Hitam dan putih. Sementara abu abu adalah diriku. Keegoisan yang sangat tinggi. Kontradiksi yang mencekik. Kengerian bertabur dengan ingin. Tapi kini sungguh aku takut akan derasnya liku hidup kita saat ini. Karena ini berbeda. Tak seperti biasanya. Perbenturan perbenturan yang ada semestinya jauhkan pusaran ini. Entahlah bagaimana dengan dirimu. Apakah aku sanggup untuk ikut berlari, ataukah memutuskan untuk berhenti di tengah. Sepertinya aku masih memutuskan untuk tinggal dalam keheningan istanaku. Walau hanya sepi yang menghiburku. Tapi setidaknya aku merasakan sedikit kedamaian di antara kegalauan yang terus memburuku. Kapankah aku berhenti? Tak lagi mengulur dualisme di antara lingkaran nasib?

0 comments:

Post a Comment