Aru, pedih itu ternyata masih ada. Tersisa di antara puing rumah yang kita tinggalkan. Rumah itu adalah milik kita, tapi bukan lagi menjadi tempat kita berteduh. Jalan pulang kita sudahlah berbeda, pun orang yang menunggu kita pulang. Hanya sesekali kita tengok rumah itu, tapi tak pernah kita bangun kembali.
Aru, pedih ini begitu sakit. Setelah tertidur lebih dari satu dekade, dia terbangun mendengar kisahmu. Kata demi kata menghunjamkan luka. Menjelma carut yang mungkin tak akan hilang. Namun tetes air mata tak bisa lagi kutumpahkan untukmu. Sudah tak ada hak milikku di sini, bahkan untuk sekedar singgah. Duka ini hanya bisa mengalir diam di relung hati.
Aru, semoga pedih ini hanyalah sesaat. Kala ingat masihlah terasa manis. Tapi mungkin ingat itu juga yang meneteskan lara. Larut dalam aliran kisah. Euphoria akan masa yang telah usai dan asa yang telah berbeda. Menoreh luka di ujung hati.
Aru, sungguh pedih itu nyata. Tapi pedih ini adalah pedihku. Mungkin tak kau rasakan lagi pedih seperti ini. Lampau sudahlah lampau. Dan Kini sudah terlalu jauh untuk kita. Untuk apa lagi ada pedih?
Aru, pedih ini adalah pedih untuk sisa keberadaan kita. Ilusi akan kenang yang dulu akrab. Sisa fragmen rasa yang lebur. Hancur terlanda badai bernama hidup. Kini hanya asing menjelma. Dan mungkin Aru adalah sekedar nama tanpa arti lagi.
Sekarang, mari nikmati pedih bertepuk sebelah tangan ini.
Selamat 20 tahun, Aru.
12.07.2019